5 Langkah Menemukan Unsur Kehidupan Sosial Masyarakat dalam Puisi
https://blogbahasa-indonesia.blogspot.com/2018/03/cara-menemukan-unsur-kehidupan-sosial-masyarakat-dalam-puisi.html
Advertisement
Baca Juga:
Kamu tentu ingat bahwa karya sastra bentuk puisi adalah karya yang menggunakan bahasa yang pekat dan padat isi. Oleh penyair, kata-kata dalam puisi merupakan sarana sebagai media ekspresi tentang apa yang dipikirkan, dirasakan, dan pengalaman yang terjadi di sekitarnya.
Penyair menuangkan beragam ekspresi lewat kata-kata yang memiliki lambang atau simbol. Jika kamu ingin memahami isi puisi dari seorang penyair, maka kamu harus menerjemahkan kata-kata yang bersimbol tersebut.
Bagaimana caranya?
Caranya dengan menelaah struktur pembangunan puisi.
Apa sajakah struktur puisi itu?
Struktur puisi ada dua, yaitu struktur fisik dan struktur batin.
■ Struktur fisik puisi adalah bagaimana kecakapan/kreativitas penyair dalam menciptakan puisi. Bagaimana menciptakan pengimajinasian, gaya bahasa, kata-kata dikonkretkan, dan bagaimana menciptakan lambang atau kiasan.
■ Struktur batin puisi meliputi tema/pokok persoalan, perasaan, nada, amanat dalam puisi. Struktur fisik dan struktur batin puisi merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan keberadaannya untuk membentuk puisi.
Nah, melalui artikel ini kamu akan belajar untuk mendiskusikan isi puisi dengan realitas tema yang diangkat. Tema-tema yang diangkat penyair antara lain ketuhanan, kemanusiaan, keindahan alam, percintaan, dan sebagainya. Menarik bukan?
Perhatikan contoh puisi berikut ini!
Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang’kan merayu
Tidak juga kau
Tak Perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
(Chairil Anwar)
|
Dari penggalan puisi di atas kamu harus menerjemahkan bait-bait puisi dengan penuh pemahaman. Puisi di atas mengisahkan mengenai kebebasan seseorang yang tidak ingin terikat aturan-aturan tertentu di masyarakat.
Puisi ”Aku” di atas mengisahkan bahwa penyair merasa jika sudah tiba waktunya, penyair ingin ia bebas pergi mengembara dan teguh pada pendirian tanpa seorang pun bisa membujuknya. Ia merasa keputusannya sudah bulat. Tidak perlu ditangisi atau ada yang sedih. Ia merasa sudah tidak berguna lagi bagi lingkungannya.
Puisi merupakan manifestasi kehidupan, simbol-simbol kehidupan, atau mimesis kehidupan. Sebab itu, puisi bisa disebut juga sebagai ekspresi jiwa, yaitu yang mengekspresikan fenomena sosial melalui kata-kata yang figuraitif. Sebagai simbol sosial, tentu saja puisi merupakan penyebar nilai-nilai sosial yang diketahui oleh pengarangnya sebagai bahan baku imajinasinya.
Seorang pengarang ketika mengolah imajinasinya untuk bahan puisi, tentu saja bermula dari keadaan sosial yang dilihatnya, dirasakannya, dan diketahuinya. Mustahil seorang pengarang membuat puisi mengabaikan fenomena sosial.
Pengarang menemukan ide puisinya, memupuk imajinasinya, bermula karena melihat kenyataan sejarah, keadaan budaya, gejolak sosial, keadaan sosial, komunitas sosial, elemen sosial, dan simbol-simbol sosial yang ada.
Nilai-nilai yang timbul dalam cerpen dilihat dari unsur sosialnya adalah
1. Tokoh-tokoh yang diciptakannya sebagai pelaku sosial;
2. Keadaan ekonomi yang menggerakkan elemen sosial (simbol sosial);
3. Konflik yang dibangun antartokoh sehingga cerita terasa utuh dan mimesis kehidupan;
4. Ideologi tokoh-tokohnya;
5. Sejarah perkembangan manusia yang dilihat digambarkan dalam cerita.
Puisi selain sebagai fenomena sosial, juga sebagai ekspresi budaya. Penyair tentu saja akan berpijak pada sebuah peradaban yang dibangun dari wujud kebudayaan sebagai bahan penciptaannya. Wujud kebudayaan menurut pendapat Koentjaraningrat (1994: 5) terdiri atas tiga bagian:
● wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan;
● wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dan masyarakat;
● wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Munculnya gagasan atau ide untuk membuat suatu puisi selalu dipengaruhi atau dilatari dengan realitas kehidupan yang dialami oleh penyair itu sendiri. Sebagai mahluk sosial, penyair merupakan anggota suatu kelompok masyarakat yang memiliki kehidupan sosial yang beraneka ragam.
Keberadaan penyair di tengah-tengah kelompok masyarakat sosial secara tidak langsung akan memberikan pengaruh terhadap karya yang dihasilkannya. Namun, akan berbeda dengan kelompok lainnya dalam menyikapi kehidupan yang melatarinya.
Untuk mempermudah menemukan hubungan isi puisi dengan realitas kehidupan, parafrasekan terlebih dahulu puisi tersebut untuk lebih memahami gagasan yang terkandung di dalamnya, kemudian bacalah secara berulang-ulang.
Perhatikan contoh puisi berikut ini!
Gadis Peminta-minta
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang tanpa jiwa.
Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang kebawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang.
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kauhafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku.
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda.
(Toto Sudarto Bachtiar, Suara)
|
Kehidupan sosial suatu masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, dapat dijadikan bahan untuk penciptaan puisi. Corak kehidupan masyarakat yang bisa diangkat atau dituangkan ke dalam sebuah puisi bisa beraneka ragam, misalnya kisah percintaan, pandangan hidup, adat kebiasaan, atau perilaku suatu kelompok masyarakat di luar masalah politik.
Langkah-Langkah Menemukan Unsur Kehidupan Sosial Masyarakat dalam Puisi
Ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan untuk bisa menemukan unsur kehidupan sosial masyarakat serta sikap penyair terhadapnya melalui sebuah puisi. Langkah-langkah itu diantaranya :
1. membaca puisi yang bersangkutan secara berulang-ulang agar Anda mampu menemukan makna keseluruhan puisi tersebut;
2. mengidentifikasi dan menyimpulkan judul puisi, kata-kata, larik, atau kalimat di dalamnya;
3. mengidentifikasi hubungan makna antara larik yang satu dengan larik lainnya untuk memahami satuan makna yang terdapatdalam bait puisi;
4. mengidentifikasi unsur sosial kehidupan yang di kemukakan penyair;
5. mengidentifikasi sikap penyair terhadap unsur kehidupan yang dimaksud.
Dalam puisi di atas, Toto Sudarto Bachtiar hendak menyampaikan sebuah realitas sosial mengenai kehidupan kaum tuna wisma. Toto sengaja memilih menggambarkannya melalui seorang gadis kecil untuk memberi efek agar pembaca dapat memahami penderitaan kaum tersebut. Mereka tidak berdaya menghadapi kerasnya kehidupan kota.
Namun, dibalik itu semua, sebenarnya setiap manusia memiliki harkat (martabat) yang sama. Perbedaan kekayaan, pangkat, dan kedudukan seseorang, tidak boleh menjadi sebab adanya pembedaan perlakuan terhadap kemanusiaan seseorang. Para penyair memiliki kepekaan perasaan yang begitu dalam mengenai hal ini.
Jika kebanyakan pembaca menganggap bahwa pengemis kecil yang minta-minta di pinggir jalan sebagai sampah masyarakat, sebagai manusia yang tidak berharga, maka penyair mengatakan dengan tegas bahwa martabat gadis peminta-minta itu sama derajatnya dengan martabat manusia lainnya. Martabatnya lebih tinggi dari menara Katedral. Bahkan jika gadis kecil itu mati, kota Jakarta akan kehilangan jiwa sebab dunianya tidak mempunyai tanda lagi.
Latihan Soal
1. Bacalah puisi berikut ini secara berulang-ulang.
Mimbar
Dari mimbar ini telah dibicarakan
Pikiran-pikiran dunia
Suara-suara kebebasan
Tanpa ketakutan
Dari mimbar ini diputar lagi
Sejarah kemanusiaan
Pengemban teknologi
Tanpa ketakutan
Di kampus ini
Telah dipahatkan
Kemerdekaan
Segala despot dan tirani
Tidak bisa dirobohkan
Mimbar kami Karya
(Taufik Ismail, 1966)
|
2. Temukanlah hubungan puisi di atas dengan kehidupan.
3. Kemukakan hasil pekerjaan Anda.
4. Mintalah tanggapan dari teman dan guru Anda.
5. Tambahkan tanggapan yang Anda terima ke dalam pekerjaan Anda.